Mataram — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mataram menjatuhkan vonis tiga tahun penjara terhadap dua warga Gili Trawangan, Lombok Utara, yakni Muhammad Aswin dan Suriamin. Keduanya dinyatakan bersalah dalam perkara dugaan pemerasan terhadap warga negara asing (WNA) bernama Brendan Edward Muir.
Putusan dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim, Glorious Anggundoro, dalam sidang terbuka untuk umum pada Jumat (31/10/2025).
“Menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun terhadap masing-masing terdakwa,” ujar Glorious.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut empat tahun penjara. Majelis hakim menilai, keduanya terbukti secara sah melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kuasa hukum terdakwa, Hairul Anam, menilai putusan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan fakta hukum. Ia menegaskan bahwa tindakan kliennya tidak tergolong pemerasan, melainkan buntut dari sengketa pembayaran sewa lahan di kawasan eks PT Gili Trawangan Indah (GTI).
“Yang terjadi bukan pemerasan, tapi soal sisa tagihan sewa. Itu ada di dalam kontrak, dan belum dilunasi,” kata Anam usai sidang.
Dalam kontrak yang berlaku hingga 2035, lahan yang ditempati Hotel Mymates Place disewa oleh Brendan Edward Muir dengan nilai mencapai Rp6,5 miliar untuk jangka waktu 20 tahun. Namun, dari total nilai kontrak, WNA tersebut baru membayar sekitar Rp2,45 miliar, termasuk sebagian pembayaran Rp210 juta dari total Rp700 juta yang menjadi sumber sengketa.
Karena pembayaran sewa tersendat, pihak terdakwa kemudian memasang spanduk di area hotel. Menurut Anam, tindakan itu merupakan bentuk somasi, bukan intimidasi.
“Itu bukan penutupan, tapi pemberitahuan. Dalam pandangan ahli, pemasangan spanduk dikualifikasi sebagai somasi,” jelasnya.
Persoalan lahan ini menjadi rumit karena berdiri di atas tanah eks PT GTI aset milik Pemerintah Provinsi NTB yang telah lama menjadi polemik. Pada era Gubernur Zulkieflimansyah (2018–2023), Pemprov NTB sempat melakukan pendataan ulang dan sosialisasi kepada para investor dan pengelola di kawasan eks GTI.
Saat itu, pemerintah meminta seluruh pihak menghentikan aktivitas jual beli atau kerja sama sewa lahan di atas aset negara tersebut hingga status hukumnya jelas.
Namun di lapangan, sengketa lahan terus terjadi antara masyarakat lokal, pihak investor, dan perusahaan yang mengklaim lahan milik PT GTI. Sejumlah kontrak pun masih berjalan, termasuk yang melibatkan Hotel Mymates Place.
Menanggapi hal itu, Hairul Anam menegaskan bahwa masyarakat lokal semestinya diakui, sebab mereka telah bermukim dan beraktivitas jauh sebelum izin PT GTI terbit.
“Secara historis, masyarakat lebih dulu ada di sana. Kalau ada hak guna bangunan, sebaiknya diserahkan ke warga lokal, bukan ke WNA,” tegasnya.(zal)


Comment