MATA menerawang. Akal masih sulit menerima. Nestapa yang sungguh menyayat hati. Melati, nama samaran usianya masih 13 tahun. Masih kelas 6 sekolah dasar. Namun beban berat sudah dipikulnya. Ia baru saja melahirkan bayi mungil seberat 1,7 kilogram.
Melati yang masih bocah ini harus menjadi seorang ibu. Disaat yang sama, teman sebayanya tengah asyik bermain. Berkumpul dan berlari dengan rekannya. Bocah yang seharusnya dilindungi dipaksa melayani om-om hingga akhirnya hamil.
Dengan suara parau dan menahan sakit usai persalinan, Melati akhirnya bercerita bagaimana dia harus melayani om-om yang seumuran dengan bapaknya. Malah bisa jadi seusia kakeknya.
Melati berkisah kesuciannya hilang disaat kelas 5 sekolah dasar. Hari itu di Bulan Juni, di sebuah hotel di Kota Mataram ia harus melayani om-om. Batin siapa yang tak teriris mendengar kisah Melati. Kesucian yang harusnya dijaga, direnggut oleh orang tak dikenal.
Om-om itu membeli kesuciannya seharga Rp 8 juta. Melati kemudian dibelikan smartphone. Sisa uang diberikan untuk kakaknya yang mengenalkannya pada bandot tua itu. Bukan sekali Melati digauli. Berturut-turut kemudian di Bulan Juli dan Agustus 2024, Melati kembali harus memuaskan pria paruh baya itu.
Bocah yang belum mengerti dampak hubungan badan ini akhirnya hamil. Ia bingung harus bagaimana. Sementara bandot tua itu sudah menghilang. Lenyap. Alih-alih tanggung jawab, batang hidungnya pun tak lagi nampak.
Melati beruntung, ada pria baik yang menolongnya. Seorang aktivis sekaligus pemerhati perempuan dan anak, Joko Jumadi. Joko tak dapat menutupi kegeramannya. Wajahnya memerah. Sedih dan marah menjadi satu.
“Saya marah karena yang menjual Melati ini kakaknya. Tega betul,” katanya.
Kakak yang sejatinya jadi pelindung justru mendorong Melati ke Jurang. Membawa malapetaka. Efek traumanya akan berkepanjangan. Tapi, api amarah Joko seketika temaram. Cerita dan tangisan kakak Melati membuatnya tercekat. Mulutnya sulit berkata.
Perempuan muda berusia 22 tahun itu, sebut saja Sekar baru saja melahirkan anak kedua 3 minggu lalu. Ia berdalih tega menjual adiknya karena himpitan ekonomi. Sekar menikah sangat belia.
Cerita Sekar membuat begidik. Ia juga telah menjual kesuciannya sejak kelas 1 SMP. Bandot tua yang merenggut kesucian Melati salah satu orang yang pernah dilayani.
Sekar menjadi pemuas nafsu laki-laki bejat sejak usia 14 tahun. Ia biasa keluar masuk hotel di Kota Mataram dan Senggigi. Ingatannya pun pudar. Entah berapa banyak laki-laki hidung belang yang telah dilayani.
Melati dan Sekar adalah saudara seibu beda ayah. Keduanya korban orang tua yang menikah anak sekaligus korban perceraian. Keduanya tak pernah merasakan hangatnya pengasuhan orang tua. Sang ibu banting tulang menjadi buruh di luar negeri. Sementara Sang Ayah, entah dimana rimbanya. Ia hilang setelah menceraikan ibunya.
Melati menangis, bingung harus bagaimana harus melanjutkan hidup dengan bayinya yang saat ini masih terbaring lemah di ruang NICU Rumah Sakit. Sementara Sekar, menangis memikirkan nasibnya yang harus siap masuk jeruji besi. Ia harus bertanggung jawab atas tindakan bodohnya yang menjual Melati. Sembari membawa bayi mungil yang baru dilahirkan, ia mengiba untuk mendapat jalan keluar.
Joko terdiam sejenak. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Keadilan harus ditegakkan meskipun langit runtuh. Kemudian ia bertanya, lalu siapa yang harus dihukum? apakah mereka berdua layak untuk dihukum? apakah mereka berdua layak dikeluarkan dari kampung? apakah layak mereka berdua dikucilkan bersama bayi-bayi mereka?.
“Bukankah seharusnya kita juga punya andil dalam derita mereka,” kata Joko menghela nafas. (redaksi wartaone)
Comment