Mataram – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS NTB) bersama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Mataram. Mereka memprotes dugaan pelanggaran hak para korban kekerasan seksual dalam persidangan, Senin (23/6/2025).
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Joko Jumadi mengatakan pengusiran pendamping dan keluarga para korban kekerasan seksual dari ruang sidang dan menghadirkan terdakwa saat korban dimintai keterangan merupakan tindakan yang salah.
Menurut Joko praktik tersebut sudah melanggar hak-hak korban sebagaimana dijamin dalam undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).
“Aksi ini sebagai respon adanya oknum hakim/majelis yang kami anggap melanggar hak korban,” tegasnya.
Salah satu korban mahasiswa di Lombok Utara, pendamping korban bahkan diminta keluar dari ruang sidang oleh majelis hakim. Padahal menurut undang-undang, korban berhak mendapat pendampingan selama proses peradilan, termasuk dalam ruang sidang.
“Pengusiran pendamping dari ruang sidang, ini jelas adalah pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam UUD TPKS,” ujar Dosen Fakultas Hukum Unram ini.
Kasus lain juga ditemukan setelah berkordinasi dengan Dinas Sosial Lombok Barat. Pada sidang korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum Pimpinan Ponpes di Sekotong, anak korban dipaksa bersaksi langsung di depan terdakwa. Tindakan ini Joko berujar bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dalam sistem peradilan.
Menurut dia, hakim seharusnya memahami bahwa kehadiran terdakwa dapat memicu trauma baru bagi korban. Termasuk bagi korban dewasa, situasi itu tetap berisiko secara psikologis.
“Hak korban salah satunya adalah tidak dipertemukan dengan terdakwa,” jelasnya.
Meski sudah mencoba menemui Pimpinan PN Mataram untuk menjelaskan keberatan secara langsung, para aktivis akhirnya gagal berdialog.
“Kami belum mendapatkan informasi secara resmi. Sepertinya majelis ketua pengadilan dan wakil ketua tidak berkenan untuk bertemu,” keluhnya.
Dalam proses pendampingan, LPA menemukan banyak korban mengalami tekanan luar biasa ketika harus bertemu langsung dengan pelaku. Menurut Joko, pertemuan itu seperti membuka kembali luka lama.
“Saya pikir secara psikologis itu akan berdampak sangat serius,” ujarnya.
Dia menekankan bahwa UU TPKS telah menyediakan berbagai alternatif agar korban tidak perlu hadir langsung di persidangan. Pemeriksaan bisa dilakukan melalui BAP, perekaman elektronik, atau video konferensi jika memungkinkan.
LPA juga mengamati adanya tren korban yang mencabut kesaksian usai kembali ke lingkungan pelaku, terutama di kasus pondok pesantren. Tak jarang sebagian besar dari mereka justru mengubah keterangan setelah mendapat tekanan atau iming-iming tertentu.
“Kemudian ada info korban menarik kata katanya,” tandasnya.
Hal ini nilainya sebagai bentuk kerentanan sistemik yang seharusnya diantisipasi sejak awal oleh aparat penegak hukum.
“Saya pikir ini perlu mendapatkan perhatian serius,” imbuhnya.
Joko menyebut kasus pondok pesantren Al Banawa sebagai contoh konkret. Dari 41 korban, hanya satu yang akhirnya bersaksi. Sisanya menghilang dari proses hukum diduga karena tekanan atau bujukan dari pihak pelaku.
“Korban kekerasan seksual itu rentan sekali untuk mendapatkan intimidasi,” katanya.
Hakim dan aparat peradilan Joko menegaskan seharusnya patuh terhadap rambu-rambu dalam UU TPKS, yang dengan tegas mengatur tentang hak dan perlindungan terhadap korban sejak tahap awal penyidikan hingga proses peradilan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PN Mataram belum memberikan keterangan resmi terkait aksi maupun substansi keberatan yang disampaikan oleh KOMPAKS NTB dan LPA.(cw-zal).
Comment