Pemerintahan
Home » ‎Walhi Desak Pemprov NTB Moratorium Izin Tambang Rakyat

‎Walhi Desak Pemprov NTB Moratorium Izin Tambang Rakyat

Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin saat menyampaikan orasi di depan Kantor Gubernur NTB, dalam aksi unjuk rasa bersama Gerakan Rakyat Peduli (Garap) NTB pada Selasa, 28 Oktober 2025. (dok: ril)


Mataram – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB), mendesak agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, untuk memberlakukan moratorium izin pertambangan rakyat dan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin yang sudah diterbitkan.

‎Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin, menjelaskan bahwa kondisi ekologis NTB kini berada dalam situasi darurat. Ia menjelaskan berdasarkan data yang diperolehnya, hingga tahun 2024 tercatat 355 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif yang tersebar di Pulau Lombok dan Sumbawa.

‎”Ada banyak hal dalam pola pertambangan kita ini yang buruk. Semua perusahaan seolah hanya menggunakan diksi kesejahteraan rakyat sebagai pembenaran, tapi praktiknya nihil tanggung jawab,” ujarnya di hadapan Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal pada saat aksi unjuk rasa yang digelar bersama Gerakan Rakyat Peduli (Garap) NTB di depan Kantor Gubernur, pada Selasa (28/10/2025).

‎Total luas area tambang itu dijelaskan Amri telah mencapai 219.000 hektare, atau sekitar 15,4 persen dari total daratan produktif NTB. Dari luasan lahan tersebut, 27 persen berada di lahan pertanian produktif yang seharusnya menjadi sumber pangan, sementara 16 persen berada di kawasan hutan lindung yang berfungsi penting sebagai penyangga ekosistem dan sumber air bagi masyarakat.

‎”Kami mendorong moratorium izin tambang dan evaluasi izin pertambangan ini adalah sampai ada payung hukum yang jelas dan tegas, yang mengatur tambang-tambang ini benar-benar memberikan kesejahteraan kepada rakyat, tidak digunakan sebagai diksi saja,” tegasnya.

‎Tak hanya itu, Amri menyebutkan kerusakan ekologis pun terus meningkat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat luas hutan kritis di NTB sudah mencapai 477.000 hektare pada tahun 2023. Sementara itu, tambang ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) juga kian marak, dengan lebih dari 120 titik aktivitas tambang liar yang tersebar di berbagai kabupaten, sebagaimana hasil rilis dari Dinas ESDM NTB dan KPK.

‎Lebih jauh lanjut Amri, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, lahan sawah di NTB menyusut hingga 25.000 hektare, dan di kawasan pesisir selatan Lombok, garis pantai menyusut sekitar 35 persen akibat reklamasi dan aktivitas penambangan pasir laut yang tak terkendali.

‎Menurut Amri, dampak dari situasi ini bukan hanya berupa kerusakan ekologis, tetapi juga berimbas besar terhadap ekonomi masyarakat.

‎”Sektor pertambangan hanya memberikan kontribusi antara 7 sampai 9 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB, tetapi justru merusak sumber-sumber ekonomi rakyat yang lebih luas. Sementara sektor pertanian yang kini tergerus akibat tambang masih menjadi tumpuan hidup bagi 35 persen tenaga kerja NTB,” tegasnya.

‎Amri menilai tidak ada satu pun perusahaan tambang di NTB yang benar-benar menjalankan praktik reklamasi pasca-tambang secara baik sesuai amanat Pasal 96 (UU Nomor 4 Tahun 2009) yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui.

‎Ia menegaskan bahwa tuntutan moratorium ini bukan hanya pilihan kebijakan, tetapi merupakan kewajiban moral dan konstitusional negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

‎”Ini adalah bukti tata kelola sumber saya alam yang sangat buruk ditinggalkan dari sebelum-sebelumnya,” tandasnya.

‎Menanggapi hal itu, Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal menyebut bahwa istilah moratorium perlu diperjelas. Menurutnya, jika yang dimaksud adalah penghentian terhadap aktivitas tambang ilegal, maka tindakan yang tepat bukan moratorium, melainkan penghentian total.

‎”Ternyata yang dimaksud itu tambang ilegal. Ndak bisa dimoratorium orang tambang ilegal kok. Ilegal ya ilegal, harus dihentikan, bukan dimoratorium. Kalau dimoratorium artinya dihentikan sementara, nanti bisa jalan lagi. Ini harus distop,” ujar Iqbal usai menemui massa aksi di Gedung Sangkareang Kantor Gubernur NTB.

‎Iqbal mengakui pihaknya belum memiliki data akurat terkait jumlah tambang ilegal yang masih beroperasi di NTB, namun ia memastikan bahwa pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum memiliki pandangan yang sama untuk menindak tegas beroperasinya tambang ilegal tersebut.

‎”Saya belum punya data yang presisi mengenai jumlahnya, yang jelas kita sudah tahu bersama bahwa banyak sekali tambang ilegal di NTB ini, mulai dari Pulau Lombok sampai Pulau Sumbawa. Saya kira semua aparat keamanan dan pemerintah mempunyai keinginan yang sama untuk menghentikan terjadinya hal seperti ini,” tandas Iqbal.(ril)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share