Mataram – Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Nusa Tenggara, Samon Jaya menegaskan bahwa sektor pertanian memiliki potensi besar dalam mendorong penerimaan pajak. Namun, ia meluruskan bahwa yang menjadi fokus bukanlah petaninya, melainkan produk pertanian yang bernilai ekonomi tinggi.
“Pertanian itu sebenarnya potensial, tapi bukan petani yang disasar, tapi produk pertaniannya. Transaksi terbesar sepanjang masa kan transaksi perut,” ujarnya kepada wartawan usai acara Launching Piagam Wajib Pajak pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Samon mengungkapkan, dirinya pernah menyaksikan langsung transaksi produk pertanian yang mencapai angka fantastis hanya dalam satu hari.
“Saya kemarin aja kaget, disalah satu yang saya lihat di satu hari itu transaksinya sampai 12 miliar. Ambil contoh ini, tarulah di satu hari itu transaksinya 10 juta misalnya, dalam satu tahun itu ada 365 hari, tapi dia jualan cuman 300 hari aja, 300 kali 10 juta berapa, 3 miliar,” jelasnya.
Dengan nilai transaksi sebesar itu, menurutnya, pelaku usaha di sektor pertanian seharusnya sudah menjadi wajib pajak. Namun, ia juga menjelaskan bahwa pengenaan pajak tetap memperhatikan ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
“Kalau orang sudah penghasilan 200 juta, seperti petani tadi, dikurang biaya, terutama nanti PTKP, masih ada sisa misal 50 juta, dari itulah kemudian dikenakan tarif. Tarif paling dasar itu 5 persen,” ungkapnya.
Ia juga menekankan bahwa masyarakat tak perlu takut dengan pajak. Selama pendapatan masih di bawah ambang batas, tidak ada kewajiban membayar pajak.
“Kan semuanya itu nanti bicara di atas PTKP. Misalnya penghasilan berapa, kalau tidak salah satu orang itu 54 juta setahun. Kalau yang belum nikah, dapat gaji misalnya 4 juta aja, itu kan cuma 48 juta. Artinya itu tidak kena pajak,” jelasnya.
Lebih jauh, Samon menyampaikan bahwa kegigihan DJP dalam melakukan penegakan aturan bukan semata-mata untuk menekan masyarakat, melainkan untuk memastikan bahwa negara memiliki dana yang cukup untuk pembangunan dan program kesejahteraan sosial.
“Kegarangan kami itu adalah bagian supaya nanti banyak orang tersenyum. Kalau dibilang kami ngejar pajak itu kayak cheetah, tapi pembangunan kayak siput, itu sebetulnya untuk membuat rakyat ini semakin banyak tersenyum. Salah satunya contohnya BSU, itu kan sumber uangnya dari pajak,” katanya.
Samon juga menegaskan bahwa penegakan aturan dilakukan bukan atas dasar kemauan pribadi, tetapi karena ada perintah dan mandat dari undang-undang.
“Siapa sih yang mau menekan? Mau garang-garang? Nggak ada yang pingin. Tapi karena undang-undang menekan saya, memerintahkan saya harus melakukannya sesuai aturan,” tandasnya. (Cw-ril).


Comment