Mataram– Anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Evi Apita Maya menyoroti praktik penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dinilai masih memberlakukan syarat agunan, padahal kebijakan terbaru pemerintah telah meniadakan kewajiban tersebut bagi pinjaman di bawah Rp100 juta.
Evi menyampaikan hal itu saat melakukan kunjungan kerja ke Gubernur NTB pada Jumat, 17 Oktober 2025. Kunjungan ini dilakukan dalam rangka pengawasan terhadap pengucuran dana sebesar Rp 200 triliun dari Kementerian Keuangan yang disalurkan melalui bank-bank pemerintah atau Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) di seluruh Indonesia.
”Kalau saya tadi menyampaikan bagaimana kami di DPD RI Komite IV turun ke 38 provinsi dalam hal pengawasan pengucuran dana 200 triliun dari Kementerian Keuangan. Masing-masing bank sudah menerima dan ada yang hampir 100 persen penyerapannya, ada yang baru 50 persen, bahkan ada yang belum,” ujarnya kepada Wartawan pada Jum’at, (17/10/2025).
Ia menjelaskan, dana tersebut diharapkan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Namun, di lapangan masih ditemukan sejumlah persoalan dalam penyaluran KUR, terutama terkait permintaan agunan oleh pihak bank.
”Ada hal yang menarik ditemui di masyarakat, sesungguhnya untuk masalah KUR. Dengan Permenkeu Nomor 1 Tahun 2023, pinjaman KUR dari nilai satu juta sampai 100 juta itu tidak boleh ada agunan,” tuturnya.
Namun kenyataannya, lanjut Evi, sejumlah bank masih meminta agunan kepada masyarakat yang mengajukan KUR. Ia pun menegaskan sudah menyampaikan hal itu kepada pihak BRI NTB agar segera menindaklanjuti dan memperbaiki kebijakan tersebut.
”Kenyataannya di masyarakat itu masih, masih ditarik agunan. Itu sudah saya sampaikan kepada BRI NTB untuk segera mengembalikan kira-kira cabang-cabang yang sudah secara sukarela balikin. Jangan sampai ada temuan lagi karena itu ada finalti dari pemerintah dan juga menyalahi aturan,” jelasnya.
Evi menambahkan, masyarakat yang masih mengalami penahanan agunan diminta agar segera melaporkan kepada pihaknya. “Saya selama beberapa hari ini terus turun ke masyarakat, menyampaikan jika ada masyarakat yang masih agunannya disimpan oleh bank untuk pinjaman KUR, tolong minta kembali,” katanya.
Ia menegaskan, praktik tersebut dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi bank pelaksana, hingga dijatuhkan sanksi.
”Itu konsekuensinya penyalahan aturan, finalti. Bunganya tidak dibayarkan oleh bank, finaltinya itu pemerintah. Tentu kan catatannya jelek ya,” sebutnya.
Menurutnya, praktik permintaan agunan ini menjadi salah satu penyebab rendahnya penyerapan dana KUR di masyarakat. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang takut meminjam karena dimintai jaminan.
”Sesungguhnya mereka banyak minat, tapi tak berani. Karena itu diminta agunan, sampai pelaku UMKM yang sudah berjalan pun ingin menambah modal tidak jadi. Ada UMKM yang sudah berjualan di Zamzam Tower mau beli oven seharga seratus juta, tapi karena dimintai agunan, akhirnya batal,” ungkapnya.
Evi menegaskan bahwa KUR seharusnya bisa diakses tanpa agunan, asalkan UMKM tersebut telah berjalan minimal enam bulan dan memiliki surat keterangan usaha dari kelurahan, serta menyertakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
”Tanpa agunan, tapi syaratnya selama UMKM itu sudah berjalan enam bulan, ada surat keterangan dari kelurahan bahwa dia melakukan usaha tersebut, KTP, KK,” jelasnya.
Selain itu, Evi juga menyinggung program Koperasi Desa Merah Putih, yang diperbolehkan mengajukan KUR ke bank himbara dan mendapatkan bunga KUR lebih rendah, yakni dua persen.
”Khusus koperasi merah putih boleh walaupun belum berjalan enam bulan. Nanti ada persyaratan yang akan disampaikan,” pungkasnya. (ril)

Comment