Mataram – Pemerintah NTB akan mengajukan judicial review undang-undang nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) ke Mahkamah Konstitusi. Musababnya, UU HKPD ini disebut menjadi biang kerok nihilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor kelautan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Muslim mengatakan dalam UU HKPD tahun 2022 tersebut, Pemprov NTB tidak lagi diperbolehkan menarik retribusi dari perizinan sektor kelautan.
”Dulu dalam undang-undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah masih diberikan ruang untuk mendapatkan retribusi izin usaha sama retribusi perizinan. Tetapi dalam konteks undang-undang nomor 1 Tahun 2022, tidak diperbolehkan lagi,” ujarnya, Senin (8/9/2025).
Menurut Muslim, persoalan ini tidak hanya dialami NTB, namun hampir seluruh daerah di Indonesia yang memiliki sumber daya sektor kelautan merasakan dampak dari pemberlakuan UU HKPD tersebut.
“Kita punya forum kepala Dinas kelautan seluruh Indonesia, nasib mereka sama dengan kita,” sebutnya.
Muslim menambahkan, atas persoalan tersebut, berdasarkan saran dari para pakar dan akademisi termasuk tim percepatan Gubernur NTB, mendorong dilakukannya judicial review UU HKPD ke Mahkamah Agung.
”Jadi para pakar dan akademisi menyarankan, termasuk dari tim percepatan Pak Gubernur, mendorong untuk melakukan judical review ke Mahkamah Agung. Salah satunya itu Undang-undang nomor 1 tahun 2022, kuncinya di situ,” sebutnya.
Muslim mengatakan, salah satu andalan PAD NTB dari sektor kelautan. Dalam sektor ini ada budidaya Benih Bening Lobster (BBL). Menurut data yang dihimpun, NTB memiliki potensi benih lobster mencapai 20 juta ekor yang tersebar di Teluk Bumbang, Teluk Awang, Teluk Gerupuk, Teluk Ekas, dan Teluk Sepi yang berada di pesisir selatan Pulau Lombok.
Dia mengaku NTB kemudian masuk dalam 10 besar sebagai daerah penghasil BBL di Indonesia. Meski begitu jutaan ekor benih lobster ditangkap dan diperjual belikan setiap tahun, Pemprov NTB mengaku tak mendapatkan PAD sepeser pun. Semua pendapatan dari aktivitas penangkapan dan pengiriman benih lobster di NTB masuk ke kas pemerintah pusat.
”Sementara ini iya (tidak ada pendapatan), jadi bayangkan kita mengeluarkan izin usaha itu dengan sistem cek kosong. Kita berikan kebebasan berusaha di daerah kita, terhadap izin yang kita keluarkan tidak ada timbal baliknya,” tukasnya.
Muslim merincikan, setiap ekor benih lobster yang diperjual belikan, pemerintah pusat mengenakan tarif Rp 4.000 per ekor. Artinya dalam satu juta pengiriman benih lobster contoh Muslim, pemerintah pusat telah mengantongi Rp 4 miliar.
Kondisi ini kemudian dikhawatirkan membuat daerah acuh tak acuh terhadap aktivitas budidaya benih lobster di NTB. Untuk itu Muslim menyebut ada kemungkinan daerah tidak akan melakukan pengawasan maksimal terhadap aktivitas budidaya benih lobster lantaran tidak mendapatkan PAD dari kekayaan laut yang dimiliki.
”Orang pusat tanpa apa-apa dapat Rp 4 miliar dalam pengiriman satu juta ekor BBL, sedangkan kita tidak dapat apa-apa. Yang kita khawatirkan sikap tidak mau tahu dari pemerintah daerah terhadap nasib sumber daya kelautan. Yang dirugikan siapa, kemudian daerah harus memastikan keberlanjutan ekosistem, ekologi beserta lingkungan,” pungkasnya.(cw-ril).
Comment