Mataram – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Provinisi NTB, Muslim mengatakan pihaknya siap mendukung kebijakan pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terkait swasembada garam nasional pada tahun 2027.
“Yang pasti kami ingin (siap), karena merasa punya tanggung jawab moral, banyangkan pemerintah pusat sudah membangun pabrik yang siap pakai, dengan nilai yang fantastis di atas 10 Miliar, paling tidak ini tidak boleh nganggur,” jelasnya, Kamis (31/7/2025).
Namun untuk mewujudkannya, menurut Muslim pemerintah pusat harus segera mengeluarkan skenario konkret guna mencapai swasembada garam itu. Hal ini karena kebutuhan garam nasional terus meningkat, sementara produksi garam lokal belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan.
“Target swasembada garam dari pak presiden Prabowo kan 2027, nah pertanyaan sekarang, untuk NTB ini jatah daerah sebagai swasembada garam untuk memenuhi kuota nasional ini berapa gitu kan?, nah ini kita masih menunggu koordinasi dengan pemerintah pusat,” ujarnya.
Menurut Muslim, dalam rangka mewujudkan swasembada garam nasional, tentu semua pekerjaannya berada di daerah. Sehingga perlu Pemerintah Pusat mendistribusikan skenario konkret tersebut pada tiap-tiap daerah.
Muslim berujar, NTB sendiri sangat membutuhkan dukungan langsung dari Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan pemerintah teknis lainnya juga harus berjalan secara beriringan.
“Saya minta bahkan memohon kepada KKP, untuk ikut serta dan mengawal secara bersama terkait dengan salah satu komoditi ketahanan pangan termasuk garam, jadi kita mohon kepada KKP untuk melakukan pendampingan,” jelasnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Perekonomian Setda NTB ini menyebutkan, alasan perlunya dukungan dari pemerintah pusat ini karena beberapa hal. Salah satunya letak geografis wilayah penghasil garam terbesar di NTB yaitu Kabupaten Bima cukup jauh. Sehingga, membutuhkan dukungan pendanaan, penguatan terhadap masyarakat binaan. Termasuk memperbaiki tata kelola irigasi tambak dan jalan produksi tambak.
“Bayangkan, ongkos pengantar garam sampai ke tempat produksi itu Rp15.000 – Rp20.000. Jadi keuntungan masyarakat pemilik tambang ini hanya habis di operasional ini. Kalau dia pakai mobil atau pun dumtrack, jalannya tidak memungkinkan. Ketika di jual itu barang paling mereka dapat untung Rp 5 ribu. Jadi costnya lebih besar. Oleh karena itu untuk mewujudkan ini semua butuh perhatian yang lebih serius dari kementerian terkait,” jelasnya.
Namun sebenarnya, lanjut Muslim, produksi garam ini investasinya tidak terlalu mahal, hanya saja persoalannya adalah bagaimana menjamin akses kelancaran suplai air dari laut ke tambak masyarakat. Terkadang lanjut Muslim, saluran irigasinya terlalu sumpek, tingkat sedimentasinya tinggi, sehingga air yang sampai ke tambak garam itu tidak lancar.
“Ini yang saya bilang tadi. Semua hal itu tidak bisa dipikirkan oleh kelautan saja. Bagaimana PUPR juga untuk didorong masuk ke dalam. Bahkan kemarin kita sudah menyusun DED terkait dengan bentuk intervensi dalam penataan irigasi di tambak. Namun terkendala anggaran. Mudah-mudahan tahun 2026 bisa terwujud,” pungkasnya.(cw-ril).
Comment