Pemerintahan
Home » Pengamat Soroti Pengangkatan Eks Terpidana Kepala DPMPTSP NTB

Pengamat Soroti Pengangkatan Eks Terpidana Kepala DPMPTSP NTB

Pengamat Hukum, Emil Siain. (dok. Ist)

Mataram – Pengangkatan Irnadi Kusuma sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menuai sorotan pengamat hukum. Irnadi Diketahui merupakan mantan terpidana kasus pidana pernikahan. Sejumlah pengamat menilai keputusan tersebut berpotensi cacat hukum dan dapat dibatalkan.

Emil Siain menegaskan, sesuai regulasi, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat dalam jabatan tinggi pratama seperti kepala dinas harus memenuhi persyaratan, salah satunya tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

“Meskipun pidana itu dijatuhkan dengan masa percobaan, secara hukum tetap dianggap sebagai pidana penjara. Status terpidana tetap melekat. Artinya secara administrasi, yang bersangkutan tidak memenuhi syarat menduduki jabatan Kepala Dinas,” kata pengamat hukum itu, Selasa (23/9/2025).

Ia menambahkan, integritas dan moral juga menjadi faktor penting dalam penempatan pejabat publik. Menurutnya, pengangkatan pejabat strategis mestinya juga mempertimbangkan rekam jejak dan nilai kepatuhan calon.

Ratusan Sekolah di Mataram Terima Smart Digital Screen dari Presiden Prabowo

“Bila ada catatan pidana, maka secara etika tidak pantas. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai dasar ASN yang tercantum dalam Pasal 3 jo Pasal 4 UU No. 5 Tahun 2014 (antara lain: profesional, etika, dan integritas serta bertanggung jawab kepada publik),” tegasnya.

Emil menyebut, dengan adanya riwayat hukum tersebut, Surat Keputusan (SK) pengangkatan bisa dianggap cacat hukum dan dapat dibatalkan, baik melalui keberatan administratif kepada Gubernur NTB selaku Pejabat Pembina Kepegawaian, maupun gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Hal senada disampaikan pengamat hukum Iwan Slank. Ia mengungkapkan bahwa Panitia Seleksi (Pansel) sebenarnya sudah mengetahui riwayat hukum Irnadi sejak awal. Namun, dengan alasan tafsir regulasi, Irnadi tetap diloloskan hingga masuk tiga besar dan akhirnya dipilih serta dilantik oleh gubernur.

“Di sinilah letak masalahnya. Secara etika dan kepatutan, seseorang yang sudah divonis bersalah dengan putusan inkracht, apa pun bentuk kejahatannya, tidak pantas menduduki jabatan publik strategis,” kata Iwan.

Menurut Iwan, solusi permasalahan ini tidak perlu sampai menimbulkan polemik berkepanjangan. Gubernur NTB seharusnya mengambil langkah cepat dengan merevisi SK pengangkatan tersebut.

Pemerataan Kualitas Pendidikan, Gubernur Iqbal Elaborasi Program Kemendikdasmen

“Kalau ada cacat hukum, cukup dikembalikan ke rel yang benar. Revisi SK, selesai. Tidak perlu mencari siapa yang salah. Yang penting, ke depan kita harus lebih hati-hati agar pejabat yang dipilih benar-benar kompeten dan berintegritas,” jelasnya.

Iwan juga mengingatkan, selain aspek hukum, norma etika sosial juga harus menjadi pertimbangan dalam penunjukan pejabat publik.

“Dalam hukum ada yang lebih tinggi, yaitu etika dan norma. Meskipun tidak tertulis, hal itu hidup dan dijunjung dalam masyarakat,” tandasnya. (cw-buk)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share