Mataram – Grand Madani Hotel, Mataram, Nusa Tenggara Barat, kaget setelah mendapat tagihan royalti sebesar Rp 4,4 juta dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), karena memutar murotal atau rekaman bacaan ayat suci Al-Qur’an di area hotel.
“Kami kena Rp 4juta, dan kalau sama PPN kena Rp 4,4 juta,” ujar General Manager (GM) Grand Madani Hotel Mataram, Rega Fajar Firdaus, saat ditemui, Jumat (22/8/2025).
Ia mengaku keberatan dengan pungutan itu. Menurutnya, pihak hotel tidak mengetahui siapa produser dari rekaman murotal yang diputar sehingga masih dipertanyakan ke mana dana royalti akan disalurkan.
“Sebenarnya kami masih keberatan. Kita itu kan menganggap murotal, tidak tahu produsernya siapa, nanti royalti ini akan dibayar ke mana,” kata Rega.
Ia menambahkan, dalam pemahaman LMKN, setiap rekaman suara, baik musik, alam, maupun murotal, dianggap sebagai fonogram dan dikenakan royalti.
“Kalau menurut mereka, semua objek suara itu kena, kalau sudah direkam, maka itu menjadi suara publik. Dari sanalah murotal ini diklaim masuk ke fonogram,” jelasnya.
Rega juga mengaku masih belum membayar tagihan royalti dari LMKN sebesar Rp 4,4 juta tersebut. Ia menyebut manajemen masih menunggu kejelasan aturan dari pemerintah pusat, mengingat regulasi terkait pembayaran royalti masih dalam proses revisi.
“Kami tunggu (aturan) selesai. Kalau memang kami harus bayar, dan UU mengatakan sudah ada aturan hukumnya, ya kami akan bayar,” Tegas Rega.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Hotel Mataram, I Made Adiyasa menjelaskan, LMKN berdalih hotel termasuk pihak yang wajib membayar royalti karena memiliki fasilitas televisi yang dapat digunakan untuk mendengar musik kapan saja.
Besaran royalti pun telah ditentukan berdasarkan klasifikasi jumlah kamar. Misalnya, hotel dengan 0–50 kamar dikenakan tarif tertentu, sedangkan 50–100 kamar dikenakan tarif berbeda. Namun, kebijakan ini dinilai tidak adil.
“Masalahnya, hotel yang punya 10 atau 20 kamar disamakan tarifnya dengan yang memiliki 50 kamar. Kalau restoran atau kafe kan jelas bayarnya dihitung dari jumlah kursi, ini kok tidak proporsional,” keluhnya.
Pihak AHM meminta agar kebijakan ini dikaji ulang. Ia juga mengimbau anggota asosiasi untuk tidak terburu-buru membayar sebelum ada kejelasan soal mekanisme dan alokasi dana.
“Harapan saya, kebijakan ini ditinjau lagi. Harus jelas model pembayarannya seperti apa, uangnya ke mana, dan siapa yang bertanggung jawab.” Pungkas Adiyasa.(cw-buk)
Comment