Mataram – Ketua Komisi II DPRD Kota Mataram, Irawan Aprianto menyoroti kebijakan pemungutan royalti musik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021. Politisi PKS itu menilai, kebijakan ini bisa menjadi bumerang bagi daerah, terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Menurutnya, sektor kuliner dan hiburan merupakan penyumbang PAD signifikan di Kota Mataram. Sehingga beban tambahan berupa royalti dikhawatirkan akan memicu kenaikan harga jual hingga penurunan jumlah pelanggan.
“Di daerah, khususnya bagi Pemerintah Kota Mataram, kebijakan pembayaran royalti ini bisa jadi ancaman. Efek sampingnya mulai dari meningkatnya harga jual, daya beli menurun, hingga turunnya omzet pelaku usaha,” ujar Irawan pada Senin, 11 Agustus 2025.
Ia menambahkan, banyak pemilik lagu sebenarnya tidak mempermasalahkan jika karya mereka dinyanyikan orang lain di kafe atau tempat hiburan. Karena itu dia mempertanyakan urgensi kebijakan tersebut.
Anggota dewan yang akrab disapa Wawan ini juga menyebutkan banyak masyarakat yang justru mencari nafkah dari bernyanyi, meski ia menyanyikan lagu milik orang lain.
“Apakah ini solusi, atau malah menambah masalah di masyarakat? Beban masyarakat sudah terlalu banyak, jangan ditambah lagi,” tegasnya.
Ia juga meminta pemerintah pusat dan daerah mengkaji ulang kebijakan ini secara menyeluruh agar tidak menjadi bom waktu yang justru merugikan pemerintah dan pelaku usaha.
Sementara itu, pemilik sebuah kafe di Mataram, Agung, mengaku khawatir dengan wacana penerapan royalti musik. Meski belum ada penagihan resmi, ia menilai kebijakan ini bisa memicu penutupan usaha.
“Kita saja susah bayar sewa dan listrik. Kalau ditambah royalti, pemerintah mau bikin kita bangkrut,” ujarnya.
Kekhawatiran juga datang dari mahasiswa Universitas Mataram, Akrom. Menurutnya, hilangnya live music atau musik latar di kafe akan mengurangi daya tarik tempat tersebut.
“kayaknya bakal lebih boring, kalau bagi saya ya, yang suka live music,” singkatnya. (cw-buk)


Comment