Mataram – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), menyoroti keterlambatan kinerja Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, dalam menyerahkan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD 2026.
Hingga pertengahan Oktober, dokumen tersebut belum diserahkan ke dewan, padahal batas ideal penyerahan seharusnya pada bulan September.
Wakil Ketua DPRD NTB, Muzihir menyebut keterlambatan ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi sudah menjadi pola berulang yang terjadi setiap tahun dalam proses penyusunan APBD oleh TAPD.
”Sudah lewat. Mestinya September penyerahannya. Sampai sekarang belum, ini sangat terlambat,” tegasnya usai rapat paripurna penyampaian hasil evaluasi Kemendagri terhadap APBD Perubahan 2025 pada Kamis, (23/10/2025).
Ia menjelaskan, dampak keterlambatan ini cukup serius karena mempersempit waktu pembahasan antara legislatif dan eksekutif. Padahal, Kemendagri telah menetapkan batas akhir penetapan APBD 2026 pada 30 November 2025.
”Kalau terlambat, maka kerja pembahasan harus siap siang malam lembur, karena batas waktu diberikan Mendagri sampai 30 November 2025,” jelasnya.
Menurut Muzihir, kondisi ini menjadi catatan penting bagi Badan Anggaran (Banggar) DPRD. Ia menilai TAPD kerap menyerahkan rancangan KUA-PPAS secara tidak tepat waktu, yang akhirnya membuat proses pembahasan berjalan terburu-buru dan hasilnya tidak maksimal.
”Memang bukan hari ini saja. Tapi ini sudah jadi penyakitnya TAPD. Mengajukan rancangan KUA itu selalu terlambat. Ini jadi catatan. Tolong diperbaiki administrasinya. Jangan sampai seolah-olah diulur-ulur supaya pembahasan terburu-buru dengan hasil tidak maksimal,” tuturnya.
Ketua DPW PPP NTB ini juga menyinggung dampak nyata dari keterlambatan pengajuan KUA-PPAS Perubahan 2025 yang membuat sejumlah proyek di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) gagal ditender. Hal itu menyebabkan potensi sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) menjadi semakin besar.
”Contoh proyek gagal tender. Itu karena dinas-dinas terkait tidak berani melaksanakan. Jadi bukan lagi 20 miliar, potensi Silpa mungkin 100 miliar itu nanti,” ujarnya.
Ia menambahkan, kondisi ini menunjukkan lemahnya perencanaan anggaran di tingkat eksekutif, meski situasi daerah saat ini sudah normal dan tidak lagi terpengaruh bencana seperti pandemi Covid-19 maupun gempa bumi.
”Dulu waktu Covid terlambat karena situasi, gempa juga begitu. Ini sekarang zaman normal,” tukasnya.
Pimpinan Dewan dari daerah pemilihan (Dapil) I NTB ini pun mengingatkan OPD agar berhati-hati dalam memaksakan pengerjaan proyek menjelang akhir tahun. Sesuai aturan, batas akhir realisasi anggaran adalah 20 Desember 2025, sehingga proyek yang dipaksakan justru berpotensi bermasalah secara administrasi maupun hukum.
”Apapun alasannya, kalau OPD masih ngotot mengerjakan proyek strategis yang bukan mestinya, bunuh diri dia kalau berani. Tanggal 20 Desember sudah tidak boleh keluar uang,” pungkasnya.(ril)


Comment