Rencana peleburan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) ke dalam Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mendapat penolakan dari Aliansi Perempuan NTB. Penolakan tersebut disampaikan langsung dalam audiensi bersama Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal, di Kantor Gubernur NTB, Jumat (2/5).
Aliansi menilai,penggabungan tersebut berisiko menurunkan kualitas layanan publik, menghambat implementasi pengarusutamaan gender, dan bertentangan dengan mandat Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.
Selain itu, kebijakan tersebut dianggap tidak sejalan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), serta berpotensi melemahkan akses masyarakat terhadap layanan perlindungan perempuan dan anak.
Ririn, mewakili perspektif kelembagaan perempuan menekankan pentingnya keberlanjutan mandat pengarusutamaan gender yang telah berjalan selama puluhan tahun.
“Urusan perempuan dan anak bukan semata soal teknis layanan, tapi bagian dari mandat nasional, termasuk pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000. Indeks Pemberdayaan Gender dan Indeks Pembangunan Gender tidak boleh terabaikan dalam proses reformasi birokrasi daerah,” katanya.
Menanggapi masukan tersebut, Gubernur Iqbal menegaskan, isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tetap menjadi prioritas pemerintah daerah. Ia menyampaikan bahwa pengarusutamaan isu gender akan diintegrasikan ke dalam seluruh organisasi perangkat daerah (OPD).
“Kalau nanti kita gabung, di pansel-nya nanti silakan teman-teman tunjuk satu orang duduk di pansel – pilih yang menurut teman-teman mana yang punya perspektif gender,” ujar Gubernur.
Gubernur Iqbal menyampaikan penggabungan ini bukan bertujuan untuk mengurangi fokus pada perlindungan anak dan perempuan, justru sebaliknya.
“Tujuannya adalah memperkuat efektivitas pelayanan dengan pendekatan yang lebih integratif, lintas sektor, dan berorientasi pada dampak nyata,” katanya.
Lebih lanjut, penanganan isu anak dan perempuan tidak bisa lagi diselesaikan secara sektoral. Kekerasan terhadap perempuan dan anak seringkali berkaitan erat dengan kemiskinan, disfungsi keluarga, dan masalah sosial lainnya.
“Oleh karena itu, penggabungan ini akan menciptakan tata kelola pelayanan yang lebih holistik, multi sektor dan responsif,” bebernya.
Beliau juga menegaskan bahwa melalui integrasi ini, akses terhadap anggaran menjadi lebih besar dan fleksibel, karena urusan perlindungan sosial bisa dipadukan dengan program penguatan keluarga, rehabilitasi sosial, hingga penanganan kemiskinan ekstrem.
“Dengan struktur baru, kita bisa mengefisienkan belanja operasional dan memaksimalkan anggaran langsung ke layanan,” katanya.
“Selain itu, indikator pembangunan seperti Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender akan lebih mudah dikawal karena satu sistem perencanaan dan pelaporan,” tambahnya.
Comment