Lombok Barat – Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan (APH) Senggigi, Lombok Barat (Lobar), Suhermanto, mempertanyakan kejelasan regulasi pembayaran royalti musik yang diterapkan pemerintah pusat melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Menurutnya, kebijakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik justru membebani pelaku usaha di sektor pariwisata, khususnya di wilayah Senggigi yang banyak bergantung pada industri hiburan.
“Kenapa royalti ini ditarik seperti pajak pertambahan nilai yang juga dilakukan pemerintah. Ini tumpang tindih,” ujarnya saat ditemui di Aruna Senggigi, Kamis (14/8/2025).
Suhermanto mengungkapkan, 17 anggota yang tergabung dalam APH, mengaku resah karena kebijakan ini diterapkan secara sepihak, tanpa sosialisasi memadai, dan terkesan mendadak.
Ia juga menyoroti ketidakjelasan dasar penarikan royalti, terutama bagi tempat hiburan yang tidak menggunakan live music, melainkan house music yang tidak hanya memutar lagu indonesia, melainkan lagu-lagu luar negeri yang seharusnya tidak dikenakan royalti di Indonesia.
“Banyak yang mutar lagu barat, terus gimana cara membaginya? Ini kan tidak jelas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ketua APH Lobar tersebut juga mengkritik pola penagihan oleh pihak LMKN yang dinilai menyerupai cara debt collector. Menurutnya, petugas datang tanpa pemberitahuan resmi, hanya mengukur kapasitas kursi atau jumlah kamar, lalu langsung menetapkan nominal tagihan.
“Selama ini kita cuma disurati, kemudian dihitung dari jumlah kursi atau kamar menurut ketetapan mereka, langsung ditodong bayar,” ungkapnya.
Meski bersedia membayar, Hermanto menekankan perlunya integritas mekanisme penarikan dengan pemerintah daerah agar jalur pembayaran lebih jelas.
“Kalau bisa penagihannya melibatkan pemerintah daerah, misalnya lewat Bappenda. Kan jelas ke mana kita mau bayar dan dana itu diperuntukan untuk apa,” pungkasnya.
Sementara itu, General Manajer (GM) Metropolis Senggigi, Ando Andika, mengaku keberatan dengan tarif penarikan royalti yang diterimanya. Tarif yang dibebankan dinilai terlalu tinggi dan memberatkan operasional.
“Dengan jumlah tarif yang diberikan, kita mau jual berapa nanti? Belum pajak dan lain sebagainya. Semakin banyak uang yang keluar,” ucapnya.
Ando menegaskan, pihaknya tidak mempermasalahkan pemungutan royalti asalkan sesuai dengan penggunaan lagu yang diputar untuk tamu.
“Buat kita sebenarnya sah-sah saja, asalkan sesuai dengan konsumsi tamu di room,” ujarnya.
Meskipun pihaknya tidak keberatan membayar royalti. Namun, ia menekankan keterbukaan dari LMKN dan pemerintah pusat terkait pemanfaatan dana royalti tersebut.
“Minimal transparansinya lah. Dana ini diperuntukkan untuk apa? Apakah memang untuk membangun pariwisata di sini atau tidak? Kalau iya, itu kan menguntungkan kita juga,” pungkasnya. (cw-buk)
Comment